Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

14 October 2013

MENCINTAIMU SESAKIT INIKAH ???

Seusai pelajaran bahasa inggris, tepat pukul 15.00 WIB skenario ini terjadi begitu cepat, seketika kita mengulurkan tangan, saling menatap dan saling mengucap kata, “Hai...” inilah awal perjumpaan kita. Aku duduk di depanmu dan kamu duduk tepat di belakangku.  Perasaan yang aneh ini pun menjadi saksi bisu atas skenario perjumpaan ini. Setiap hari kurasakan selalu berbeda dan tak lagi sama seperti dahulu. Kamu hadir many giving to change into my day’s. Hitam, putih, kelabu skenario kehidupanku menjadi lebih berwarna cerah, ketika sosokmu hadir mengisi dan menghiasi ruang lingkup kekosongan hati kecilku. Tanpa terlewati satu percakapan nothing special, seakan-akan semua mengalir deras dalam nadiku ini terasa begitu ajaib dan sungguh luar biasa. Entah, darimana asalnya perasaan ini bermula hingga tumbuh dan berkembang melewati perbatasan etika pertemanan kita.
Ketakutan akan kehilangan sosokmu mulai menjelma menjadi penyakitku yang sangat dan teramat parah. Siksaan datang menerkam, bertubi-tubi yang kurasakan setiap kali dan ketika tubuhmu menghilang dari sudut pandangku. Ketika sekujur tubuhmu semu berada disampingku. Kamu mesin pengendali otak dan hatiku begitu menerobos dengan cepat tak mengenal ruang dan waktu, tak ada sedikitpun yang aku mengerti akan perjalanan panjang ini. Aku sulit jauh darimu, aku membutuhkanmu seperti kamu adalah nafas panjangku, seakan – akan nadi ini akan berhenti begitu cepat, berhenti jika kamu tak dapat kutemukan, salahkah jika kamu selalu aku butuhkan? Kamu selalu kujadikan kebutuhan pokok skenario hidupku.
Tapi, mengapa sikapmu tidak seturut sekehendak dengan sikapku? Perhatianmu terkadang tak dapat kuartikan, perhatianmu seakan memberikan secuil tentang dirimu yang tak sedalam perhatianku terhadapmu. Itu yang dapat aku gagas, berjalan begitu datarnya kronologi ini, tatapan bola matamu tak setajam diriku menatapmu. Otak dan hatikupun berhasil kamu kendalikan. Semua mulai kurefleksi dan aku evaluasi kembali, mungkin ada sebercak kesalahan di antara aku dan dirimu. Senja yang hadir tanpa kebisingan, sekilas aku bertanya kepada sang pujangga dalam khayalan semata, apakah kamu tak merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini? Apakah kamu tak akan pernah merasakan hal yang sama? Waktu berjalan begitu cepat. Awanku mulai menangis senja di kota ini. Setitik demi setitik mulai menetes, semakin deras mengalir, dinginnya angin senja di kota ini membuat tubuhku ingin kurebahkan di bahumu. Namun itu semua aku urungkan niatku.
Kamu mungkin belum terlalu paham dengan perasaanku, karena kamu memang selalu sibuk dengan rumus – rumus kamu dalami. Kamu tak pernah sibuk memikirkannya. Kamu ajarkan aku banyak cara, mengatasi semua problema skenario ini. Cerita senja bersamamu hadir seketika di guyur air hujan hingga adzan isapun mulai berkumandang, kita masih disini. Berdosakah jika aku seringkali menjatuhkan air mata ku ini dari tempat peraduannya hanya teruntukmu seorang pemilik mata elang? Semua peristiwa ini hadir seketika tanpa aku harus mengundangnya. Perasaan ini hadir begitu indah dan selalu menerkamku, entah apa yang sedang kulakukan, kronologi yang tak mungkin dapat ku jelaskan secara runtut. Kamu selalu sibuk dengan duniamu sendiri. Mungkin, aku egois akan perasaan ini? Aku selalu kehilanganmu, dan aku juga selalu datang dan pergi tanpa meminta izin, tanpa sepengetahuanmu. Haruskah aku lakukan ini? Memanngnya siapa aku ini dimatamu? APAKAH AKU BAGIAN TERPENTING DARI SKENARIO HIDUPMU? BODOH!! Aku hanya seorang asing yang selalu mengusikmu, mungkin itu yang selalu kamu rasakan. Hadir dalam bunga tidurmu ataupun dalam anganmu akupun sangat bersyukur, apalagi merupakan bagian terkecil dari hal yang terpenting dalam hidupmu seutuhnya. Ah, itu semua takkan mungkin bisa terbaca oleh sikap dan perasaanmu.
Egois aku memang egois, aku terlalu banyak berharap akan dirimu, hingga aku tak kuasa menghitungnya berapa kali aku berharap kepadamu. Begitu sering aku menyakiti perasaanmu, tapi kamu selalu memaafkan segala sikapku yang selalu dan bahkan berkali-kali menerkammu. Mata elangmu tajam membara, dan gelora asmara ini semakin memuncak menjelma bara api. Lihatlah aku yang hanya bisa membisu dihadapanmu. Tataplah diriku yang selalu mencintaimu dengan setulus hatiku. Namun kau selalu saja acuhkan diriku dengan begitu mulus. Seberapa tidak pentingkah aku terhadapmu? Apakah aku hanya sebatas angin yang berhembus di tikungan rumahmu? Apakah aku hanya sebatas debu di persimpangan jalan yang selalu membuatmu terluka? Kau selalu mengabaikanku. Tak pernah kau memahami perasaanku terdalam ini. Perasaan yang begitu indah selalu ku hadirkan dengan tetesan air mata.
Aku masih selalu bertanya – tanya apa aku tak berharga dimatamu? Apa aku hanyalah sebuah boneka yang selalu ikut serta dalam permainan panjangmu? Permainan selayaknya yang dimainkan anak kecil perempuan usia 5 tahun. Adakah hatimu teruntukku? Aku tak bosan bicara banyak kepadamu, aku tak akan bosan mengutarakan semua yang sudah menjadi kronologi ini. Segala sikapku yang semakin menyakitimu, mungkin akan membuatmu ilfeel. Apakah kamu akan menegurku? Ataukah kamu akan membiarkan sikapku terus menyakitimu? Aku salah! Ini kesalahan fatalku! Aku tak dapat memaafkan diriku. Kini aku mulai mengerti akan sikapmu, aku tak berhak berbicara tentang indahnya cinta ini, jika kau selalu saja tak memperdulikan aku dan selalu saja kau tutup telingamu. Semua tak akan mungkin jika aku berkata rindu, sayang, dan cinta, berkali – kali bahkan lebih sering kau ciptakan jarak yang semakin jauh, semakin panjang, dan semakin menjauh dariku, hingga akhirnya diriku tak akan mendapati kamu lagi. Aku tak pandai berbicara denganmu, aku tahu kamu tak selalu menghubungiku bahkan tak selalu membalas pesanku. Aku tahu kamu tak akan pernah ada untukku. Namun, ketahuilah aku tak bisa apa – apa tanpa kamu, aku tahu cupit itu selalu memancarkan panahnya.
Aku selalu lemah dihadapanmu, selalu buruk dan buruk dihadapanmu. Skenario perjumpaan ini selalu membuatku semakin bertanya jika selain memanggil namamu dan membawa namamu dalam percakapan panjang lebarku denganNya. DenganNya aku selalu mengeluh, selalu menceritakan tentangmu, tak ada hentinya aku bercerita tentangmu. Bagaimana bila ku cinta kau dari semua kekuranganmu? Sadarkah kamu senyum manismu selalu melukai hati kecilku? Ingatkah perkataanmu selalu meleburkan mimpi – mimpi indahku bersamamu? Apa kau tak pantas untukku? Ataukah aku tak pantas bahagia denganmu? Terlalu banyak pertanyaan tentang dirimu. Namun, bagian terkecil memahami dirimu adalah hal terfavorite dalam hidupku yaitu mempelajari setiap gerak – gerik sikapmu. Semoga kita dapat menjadi bagian hal yang terpenting dalam skenario kehidupan ini. Aku muak dengan semua ini, aku mencintaimu dan kamu belum tentu mencintaiku, aku mengagumimu lebih dari seorang idolaku, ya kamu memang belum tentu paham dengan perasaan kagum ku ini. Perasaan kagum ini juga membutuhkan proses panjang untuk kamu cerna dari otakmu, aku belum bisa mengenal perasaan ini lebih dalam, jika aku sudah mengenalnya lebih dalam mungkin tidak sesakit ini aku mencintai dan mengagumi sosok tentangmu.
Aku sadar, aku bukan siapa – siapa di bola matamu, dan tak akan pernah menjadi siapa – siapa yang lebih berarti. Sesungguhnya, aku ingin tahu, dimana kau taruhkan hati kecilku yang selalu kuberikan padamu? Tapi, kamu pasti enggan menjawabnya dan selalu kau acuh tak acuh tentang persoalan rasa penasaranku yang kian menjelma dahsyat. Sempat aku berpikir dan menyesali semua. Namun, apakah aku salah jika aku bertanya siapakah seseorang yang sesungguhnya telah beruntung memiliki hatimu?
Mungkin ini memang semua salahku. Aku berharap semuanya berubah dan semuanya telah berubah membawa hasil sesuai keinginanku, aku yang selalu bermimpi bisa menjadikanmu lebih. Salahkah jika perasaanku bertumbuh dan berkembang melebihi perasaan kagum terhadapmu?  Aku mencintaimu sebagai orang yang begitu berharga tinggi dalam hidupku. Namun, semua hanya khayalan semataku, semua jauh dari harapanku selama ini, mungkin, memang aku terlalu berharap banyak kepadamu. Akulah yang tak menyadari akan posisiku, kau sesungguhnya yang telah mengajari aku tuk tidak mengharapkan yang pasti dan selalu diabaikan, namun aku selalu membohongi perasaanku terhadapmu, akulah insan yang bodoh, akulah insan yang bersalah, selalu merasa benar dan berharap bahwa kamu mau memperdulikan aku !! Tenanglah, kamu tak perlu memperhatikanku terus – menerus dan kamu bebas memilih, biarkan cinta ini tumbuh sesuai dengan air yang mengalir. Mungkin kamu bahagia karena kamu tak mendapati aku lagi dan mungkin kamu bisa tersenyum lebih enjoy, aku sudah terbiasa tersakiti bahkan dicampakkan, terutama oleh kamu. Tidak perlu basa – basi lagi, aku bisa berjuang sendiri tanpamu. Dan kamu pasti tak sadar, aku berbohong jika aku bisa begitu mudah melupakanmu. Melupakan kenangan itu, dan aku berterima kasih, kau telah mengajarkan banyak cara menjelang perjuangan perjalanan hidupku. Detik – detik terakhir untuk mengakhiri jenjang study ku di kota perwira.
Dan kini saatnya MENJAUHLAH, aku ingin menghapuskan secuil kisah kita dengan kesepianku menyendiri, disana di kota metropolitan lukaku mungkin akan terobati, disana aku berharap tak akan kujumpai orang sepertimu, jikalau datang hanya berganti - ganti topeng dengan mudahnya, yang berkata cinta dan sayang dengan mudahnya lidah berucap setengah terbuka. Semoga kamu disana bisa melupakan diriku. Dan baik – baiklah disana, jangan pernah kau temui dan meminta cinta ku. Walau cepat atau lambat kau akan menyadari bahwa diriku mencintaimu hingga sesakit ini. Akan ku ingat selalu perkataan – perkataanmu yang selalu membuatku lebih akan meneteskan setiap air mata ini. Terima kasih atas semua kisah ku selama waktu kau mengajari ku di suatu ruangan yang tak asing bagi kita.
Disitulah aku akan menuah dan menaburkan benih, cerita ini hadir karena kamu. Rasa ini hadir juga karena kamu, dan perjuangan ini serasa belum berakhir karena kamu masih memandangiku. Walau sakit aku akan tetep bersyukur mengenalmu. Tapi maaf aku hanya seorang munafik yang selalu lembut menuruti maumu. Pesandiwara terhebat yang mungkin kamu temui, yaitu AKU. Banyak message ku yang mungkin kamu abaikan. Dan inilah pesan terakhirku untukmu lewat karya ini. Aku dapat mengutarakan redaman amarahku. Walau kamu berkata orang yang dapat meredam amarahnya sendiri adalah orang yang bisa mengendalikan keadaan psikisnya. Terima kasih kau telah menghubungi ku walau hanya sekejap. Aku pergi..

No comments:

Post a Comment