Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

09 October 2014

Sekeping Liontinku

Semalaman suntuk, aku tengah mengerjakan deadline. Aku terdiam sekitar lima belas menit. Lima belas menit mencoba kembali kutelusuri suatu perkara yang mengganjal dipikiranku beberapa minggu ini. Rasanya, aku bermain di dunia luas yang kupercayai bahwa itulah surga. Tentu, saat itu perasaanku sedang dilema antara kesepian dan ketidakjelasan amarah yang akhir - akhir ini aku luapkan tanpa berdrama.
Minggu, 5 Oktober 2014 lalu. Tak kusangka hari ini yang kukira akan menjadi sebuah kenangan manis walaupun tak pasti. Kini berbalik meniadi sebuah tragedi mengenaskan untuk kupandang. Peristiwa tenggelamnya sekeping liontin berwarna merah jambu hancur tanpa tersisa dilautan luka dalam tanpa berdarah. Sosoknya yang telah menghanyutkan simpatiku begitu sangat mempesona. Meskipun mahal senyumnya dan kesederhanaanya telah merebut segala rasa yang berkelana mencoba mencari bayang semu.
Dan kau tak akan pernah tahu tentang siapa malaikat yang selalu kudiskusikan denganmu. Yang kau tahu hanyalah sebuah gembok telah menyulapnya menjadi tangisan mahal ketika dalam dua hal yang berbeda. Malaikatku kini telah terluka biasan sinar asmaramu yang begitu kuat menerkam dan mengunci semua keadaan.

28 July 2014

Kita, Teka-Teki Silang Biasa

Kala pagi terasa nyaman, ketika aku menatap keindahan itu. Entah, mengapa dari sedikit pembicaraan KITA yang singkat itu, aku sedikit sekali menangkap sebuah isyarat sederhana. Seperti dalam penjara yang berbulan - bulan, rasa penasaran ini serasa menjadi sebuah misteri. Ataukah kamu berhasil membuatku jatuh, tetapi kau mengangkatku hingga terbang ke nirwana surga yang kau hiasi dengan sejuta rasa. Kuperhatikan sosokmu bahkan kusempatkan melihat senyumanmu setiap malam sehabis makan malam. Mungkin, hanya reaksi molekul kecil dalam mimpiku berekspresi. Aku tak tahu mengapa aku menjadikanmu sosok penasaran dalam ingatan otakku? Terlalu singkat dilatasi waktu pertemuan KITA yang masih terjaga dalam desakkan angan gelombang yang akan menghanyutkan setumpukkan pasir yang terbangun di bibir pantai. Aku jenuh dengan segala pemberontakkanku. Aku terlalu lemah menjadikan daging yang tak bersua. Sekecil yang tak pernah kubayangkan dalam hitungan detik. Datar sekali perbincangan KITA yang masih terlelap dalam belaian seorang semu diantara KITA menjawab masa laiu. Tercabik - cabik gelisahku yang kian merana menjelma keegoisan. Adakah ruang yang selalu menjaga persinggahanku kala aku lengah? Adakah lentera yang tak bersulutkan api yang menyala - nyala? Aku hanya ingin memadamkan segala kejenuhanku. Dimanakah salju yang kupikir mengubur kekakuanku dalam diam rindu? Seperti tujuanku selalu menjadi hambar karena kemunafikkanku, menghasilkan reaksi yang tak sesuai. Aku terlalu rusuh dalam memainkan sebuah formula. Aku paham atas segala pola pikirmu yang seakan - akan itu isyarat terbesar yang ku yakini hingga sekarang. Di batas bibir merahmu, aku meneduhkan segala yang ku rengkuh. Namun, kau menghindar sentuhan kecil itu. Dan sosokmu pergi begitu saja tanpa sebuah suara. Termangu menjadi ciri khasku setelah sosok yang berbeda denganku. Harusnya kau jadikan perbedaan itu istimewa bukan perbedaan yang selalu menimbulkan perdiskusian antara perhakiman dan algojo yang mengatur. Inilah kita, teka-teki silang biasa.

DOA dan SENANDUNG

Senandung takbir yang masih berkumandang merdu. Melantunkan sayup - sayup sederhana yang mampu menghiasi lentera di kala pagi butaku. Terpaan angin yang semakin menumbuhkan rasa kesejukan mengundang segala seisi dunia seluas samudra. Embun pagi yang sering membukakan mata. Terkadang menetes tepat di jari jemari mungil ini. Sejuknya kalbu yang tak sebening embun. Mengisyaratkan sosokku yang tak pernah menjadi penangkal. Perucapan tanpa pelafalan tak akan menyentuh ke gendang telinga yang akan meneruskan ke rongga kecil yang masih tersembunyi di dalam lubang. Banyak peristiwa yang menjadi sebuah dasar pencerminan. Tutur tak semena dengan lidah yang tak sejajar dengan bibir. Kadang terlena ataupun lengah mewujudkan mantra yang tak sesuai. Dilatasi waktu yang tak sadar menyentuh organ tubuh. Hingga menghasilkan reaksi yang beracun di dalam hati. Namun, salahkah bila aku menjadikanmu tujuan dalam keterbatasanku? Aku insan yang bercela. Masih tersungkur di kakiMu, mohon beribu - ribu pengampunan atas perbuatan nista yang selama ini kukubur rapat - rapat dan ku biarkan hingga menjadi sepucuk gunung yang menjulang tinggi di bukit Kalvari. Sosokku tak dapat menyentuhmu yang terikat jarak ratusan meter. Bahkan detak yang tak berdenyut, nadi yang tak berurat, dan rasa yang berinteraksi dengan bibir. Terbanglah sebuah aksara memanah raga. Hari kemenangan yang terikrar sejak peluncuran kembang api yang ku lewati tadi malam. Aku ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Menjadi pribadi yang tak mudah berucap nista, sikap yang selalu menyeret ke dalam pengadilan kini telah engkau bersihkan dari siksa. Kau mengajarkanku untuk berbenah diri hari ini. SELEMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1435 H. MOHON MAAF LAHIR dan BATIN. :)

25 July 2014

Skenario Surat Kecilku, Tuhan

Tuhan, selamat pagi atau malam. Aku tak tahu disana sedang suasana apa? Jika engkau mengizinkan pelangi dalam hujan. Mari kita tengok bersama - sama. Aku seorang gadis kecil yang kau turunkan ke bumi yang menikmati segalanya yang sudah kau berikan. Aku ingin melihat sesuatu yang tak pernah ku  lihat dalam bayangan. Apakah engkau masih mendengarku? Tuhan, tak tahu lagi kemana jengkal harus melangkah melewati butiran - butiran abu. Yang ku rasakan adalah peristiwa yang begitu banyak aplikasi matematika. Aku merindukan kehangatan suci yang sekian lama ku cari. Yang ku dapati hanyalah mimpi. Sekian lama yang ku bangun selama lima tahun ini misi terfavoriteku. Terkadang ingin ku teteskan percikkan air mata. Rindu yang begitu mendesak tak dapat ku simpan lagi. Dalam jarak di altarMu aku bersimpuh duka nestapa. Satu yang tak terjelaskan dalam perucapan. Terbesit dalam pikiran tanpa halangan. Tuhan, aku tak minta banyak hal. Sampaikan rinduku untuk seorang dewi laksana yang dahulu sering menimangku kala masih bayi. Entah, dimana lagi aku harus betapa, bermain dalam skenarioMu yang teradaptasi menjadi kehidupan. Aku insan yang tak banyak petuah, dihadapanMu hanya sekedar jerami yang tak lagi kau butuhkan. Tapi aku begitu sangat nista jika ingin bertemu denganMu. Aku tak pantas kau renggut dari kekejaman dunia yang ku lihat. Mata yang telah kau beri. Tuhan, aku merintih bila aku hanya memberontak dalam diam. Lindungiĺah dewi laksana ku, setiap dalam keadaan terburuk. Jauh dari sudut pandangku itu yang mengharuskan aku untuk berpikir menjadi pribadi yang lebih baik. Izinkanlah diri ini menuliskan surat kecil untukmu. Aku memang sebatang kara yang masih memintaMu penopang. Aku dan skenario Mu yang akan ku nikmati sendirian menempuh perjalanan panjang. Aku tahu engkau memberiku kerikil kecil yang teramat sangat istimewa. Tuhan, aku tak begitu layaknya mengharapkan penyertaan. Boneka yang kau beri, aku sangat bersyukur menjadi teman terdiamku. Yang ku mau tunjukkan mukjizatMu. Mungkin, penantian tanpa alasan tak jelas akan terjawab kala aku menari di surga. Tolong jaga dia Tuhan, aku terlalu rindu dalam ratusan jarak dan bayangan semu yang terbiaskan oleh kenangan manis. Bahkan aku tak dapat menjangkaunya, kabar pun tak ku temui selama lima tahun ini. Adakah rasa rindu di hatinya Tuhan? Aku tak begitu minta yang terlalu suguhan istimewa. Cukup ku teteskan air mata yang kau isyaratkan dalam mesbahMu. Tuhan, aku ingin berjumpaMu melewati aliran sungai yang penuh ketenangan. MemelukMu kala dalam permohonan abadi. Sederhana sekali pilihan tujuan tarian ini. Tuhan, aku selalu menunggunya setiap hembusan nafasku. Namun, berakhir dengan pengabaian tanpa seribu alasan. Rindu yang menggebu - gebu itu singkat sekali menipis kala aku merenung termangu dalam pesakitan rasa. Aku bodoh!! Aku hanya bisa bertahan di kubang kecil yang ku anggap rumah terindah. Ternyata, bualan - bualan yang tak berbekas sangat menggores lembut. Ketertarikan ataukah hanya sekedar racun yang menyerang kalbu ini hingga meluruskan menjadi penyakit kebencian? Tidak! Bagaimanapun waktu yang bercerita diatas derita masih ada setumpuk derita lagi, tetaplah menjadi konsekuensi atas persoalan rasa. Kau cukup sabar mendengarkan ocehanku yang selalu saja tak bermakna apapun. Tahukah engkau Tuhan? Aku merindukannya dalam suat kecilku, Tuhan. Ini skenario surat kecilku yang ku kirimkan menembus biasan sinar istimewa.

12 February 2014

Air Mata Surga

Angin surga berhembus
Kala senja menyapa
Begitu merdu terdengar
Ku tatap arloji kian berputar
Serasa seperti ingin terbang melayang
Getaran - getaran merasuk tubuh
Menjelma menjadi satu kekhawatiran
Memandang alam sekitar
Pepohonan mendayu - dayu sampan
Percikan air mata surga
Membasahi bumi pijakkanku
Digilasnya tubuh mungil
Hingga berpendar tragis
Darah yang begitu segar
Mengalir meneteskan percikan
Air mata yang suci
Air mata surga keindahan
Yang menyiratkan sebuah keikhlasan
Senandung syair kepergianmu
Mengalun merdu hingga
Menusuk rongga dadaku
Yang telah hilang
Takkan datang lagi dihidupku
Namun..
Takkan pernah mati
Saat jauh dekat bersama
Sahabat
Selamat jalan kawan
Selamat ulang tahun
Kado terindah dariNya

26 January 2014

Penyemu Profesional

Kala itu..
Aku sendiri termenung
Perasaan benci
Menyelimuti kalbuku
Semakin hari mendesak
Gentar dan menyenak
Segenap samudra batinku
Kau..
Tumpahkan sebercak darah
Noda yang takkan pernah
Terkelupas lenyap seketika
Semula berawal
Dari tawar hatimu
Sungguh hebat
Kau memainkan adegan ini
Kau..
Penyemu terhandal
Seulas senyuman remang
Semu percakapan panjangmu
Merekayasa skenario hidupku
Penyemu profesional
Tidak beringsut dari bibirku
Selalu disebut - sebut