Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

26 July 2015

Penawar Patah Hatiku

Aku rindu dengan caramu menjelaskan sesuatu apapun itu. Aku rindu ketika tengah malam kau meneleponku selama seribu tujuh ratus dua belas kali tak pernah kuangkat. Dan kau masih melakukan hal yang membuatku semakin kesal dan ingin memeluk masa lalu kembali.

Aku mencintaimu mungkin tidak dengan hal kesempurnaan yang kau inginkan. Aku adalah hal itu yang bisa kaubaca dari mataku, mata yang tujuh tahun lalu menatapmu dan menemanimu selama setengah bulan menjelang gerbang perjuangan dan perpisahan kita. Saat itu, aku masih berumur tujuh belas tahun kurang tiga bulan. Apakah kau tidak pernah tahu, di mata gadis seusiaku, kau adalah pria sempurna selayaknya seperti seorang pangeran soleh yang selalu hadir dalam kehidupanku. Sering kali aku bertanya hal bodoh ini kepada Tuhan bahkan aku sering kali menyalahkan Tuhan dengan tragedi perjumpaan tragis kita ini.

Lihatlah kacamatamu, wahai seorang pria yang selalu kuagungkan di depan seluruh teman-temanku. Lensa yang kau pakai tidak terlalu tebal dengan frame berwarna hitam dan ia melekat tampak manis, berperan sesuai dengan karakter kewibawaan dan kepandaianmu. Pada akhirnya aku terlalu sibuk mengharapkanmu hingga kusiapkan hatiku untuk terluka berkali-kali.

Aku mencintaimu dan rasanya tujuh tahun menunggumu sudah sangat cukup lama bagiku. Pangeran soleh, aku mohon kepadamu. Lihatlah gadis polos ini, gadis yang diam-diam mengagumimu berdiri tepat di depan cermin kesayanganmu, melambaikan tangan dan tersenyum untukmu setiap saat. Gadis polos ini sangat rela mencintaimu meskipun mungkin kau hanya hidup dalam angan. Seberapa seringnya kau bertanya kepadaku meskipun kau tak pernah mengatakannya secara terus terang tentang apakah patah hatiku sudah tak lagi parah? Ayo, aahkanlah pandanganmu padaku, aku tahu wahai pangeran solehku, apa isi hatimu. Aku ini hanyalah penghapus yang merindukan tulisan teduh sepertimu, tapi izinkan aku menjadi pena yang selalu siap menemani penghapus untuk obat penawar patah hatiku yaitu biarkan aku menulis segalanya tentang kamu.

20 January 2015

Sahabat Sejati Hidupku

Waktu akan selalu berjalan. Ia tak akan pernah berhenti berputar. Walaupun kita akan terus menjalani dengan mimpi yang tetap. Saat kita melangkah, janganlah ragu untuk tetap berlari.

Nama Kamu, kini namaku telah disebut olehnya. Aku berdiri diambang pintu menatap tajam kelopak matanya. Sosoknya telah lama bersinggah disepanjang perjalanan hidupku. Namun, ia tak bersinggah ditempat yang kutuju. Kini aku segera berlari meninggalkannya.
"Sudah selesai belum Ray aransemennya?" Suara itu menggugah sedikit lamunan Ray. Ketika hendak menyelipkan partirtur lagu yang ia buat khusus untuk seseorang, terjatuh sudah tepat di depan kaki Rio, sahabat terbaik Ray. Entah, Rio pun tak begitu banyak bertanya tentang partirtur lagu itu. Meskipun Rio hampir setiap hari bersamanya.

"Walaupun ingin tak akan mudah untuk jalani hari. Janganlah pernah mencoba menyerah! Dan berhenti saat terjatuh. Bersama kita membaginya." Terbaca sudah kertas yang tertinggal di bangku taman yang tak jauh dari tempat Ray dan Rio yang berada di ruang musik itu. Rasa penasaranku semakin menjadi bentuk penyerangan. Sejenak aku memandangi tulisan di kertas lusuh itu.

"Meski terus akan mencari. Temukan sebuah jawaban."
"Apa arti hidup ini? Janganlah ragu untuk tetap berlari."

Percakapan itu menghanyutkan aku dalam sepenggal kisah. Tanpa sadar aku menyahut percakapan Ray dan Rio yang telah mendarat di depanku memandangi keindahan alam sekitar ini. Ray dan Rio menatapku tajam dan aku kembali meneruskan perucapanku, "Bersama kita membaginya. Jangan pernah kau berhenti !!" Kalimat terakhirku untuk meninggalkan mereka tanpa pamit. Aku segera berlari menangis di sepanjang koridor sekolah.

Tak perlu lagi kau sembunyi di sana dalam gelap dan sepi harimu. Aku disini kan menggenggam tanganmu. Temani dan menerangi duniamu selalu.

Selesai kutulis dalam sebuah diary kecilku diiringi tetesan air mata. Lalu aku selipkan ke dalam tas ranselku yang telah siap untukku bawa esok hari.

Keesokkan harinya..
Aku terlambat pergi ke sekolah. Sesampai disekolah. Astaga!!! Pintu gerbang telah terkunci dengan gembok emas. Panik menjadi teman pagi hariku. Mondar - mandir tak jelas dan mengacak - acak rambut hingga berantakkan. Kini ku coba berpikir mencari sebuah cara agar dapat masuk. Perlahan sosok yang kulihat sama persis diruang musik itu membukakan pintu gerbang untukku dan segera menyeretku masuk ke halaman sekolah. Saat ini, aku di bawanya berlari menelusuri koridor - koridor sekolah.
Muhammad Raynald Prasetya, nama panjang itu terdengar sayup - sayup ketika Bu Rina, guru matematika ku mengabsen kelas IPA dan sorot kedua bola mata itu tepat menangkap sosokku yang tertangkap basah mengamatinya lamat - lamat. Sekejap aku tersenyum manis. Kini aku terengah - engah mengikuti gerakkan sosok yang membawaku berlari sedari tadi.
"Capek juga. Disini kita bakal aman." Ucapnya sambil menahan lelahnya.
"Kamu?" Kata pertama yang aku lontarkan ketika bercakap dengannya.
Ruang musik yang terletak sangat jauh dari ruang kelas yang biasanya terpakai. Setengah mati aku mencoba menahan rasa peningku yang sedari tadi menempel.
"Makasih ya?" Sepatah kata lagi kuucapkan untuknya. Ia hanya tersenyum dan menyandarkan kepalaku di bahunya dan aku membiarkannya begitu saja. Sosoknya mengusap air mataku yang lagi - lagi melumuri kedua pipiku.
"Mario Stevano Aditya Haling" begitu dirinya menyebut nama lengkapnya dengan sedikit nada tertawa.
"Panggil saja Rio dari kelas IPS. Anak paling kece." Sahutku sebagai balasannya. Aku dan Rio pun tertawa kecil sambil mengingat kisah perkenalan secara diam - diam.
Dari seberang terdengar suara lantang yang sangat mengerikan.
"HEH !!" Teriakkan khas dari Ray yang tiba - tiba muncul. Ray segera menarikku dari sandaran Rio. Sementara genggaman tangan Ray dan Rio sangat kuat. Aku hanya bisa menjerit lirih dan menahan rasa sakit. Ray dan Rio memulai genderang pertengkaran yang hebat ini hingga memanas. Lagi - lagi kepalaku dihantam rasa kepeningan. Ray dan Rio mulai melepaskan genggaman itu.
Pada akhirnya aku pun terjatuh hingga kucuran darah mengalir dari hidungku mulai bercerita.

Hujan sangat deras dengan gagah Ray menerobos segala waktu untuk menyelamatkanku. Ray tahu tentang kondisiku dan penyakit terparahku. Kami bertiga memang bersahabat sejak kecil. Banyak kisah dan cerita bahkan pula banyak hantaman permasalahan dan pertengkaran.

Sebulan kemudian..
Ray dan Rio masih terjerat dalam rasa permusuhan. Renggang sudah persahabatan itu. Sementara aku telah pindah ke luar negeri sejak terhitung dari masa kritis pertengkaran itu dan penyakitku yang mulai mengganas.

Dua bulan kemudian..
Ruang musik itu biasanya terpenuhi dengan sebuah canda dan tawa tiga orang anak yang bersahabat telah lama. Namun kini tak terlihat lagi sosok keceriaan itu. Ray dan Rio merasa kesal dengan dihantui bayang - bayang yang sama. Namun, mereka berdua masih menyimpan rasa gengsi tinggi untuk memulai meminta maaf.
Nawin, murid baru yang sudah seminggu lalu menghampiri Ray dan Rio yang sedang kucing-kucingan di ruang musik itu, Nawin mencoba mengakrabi mereka. Namun, kali ini hanya mendapat sebuah hentakkan.
"Kenalan sama Ray saja sanah!"
"Rio saja tuh yang banyak followersnya."
"Ray jago segala musik."
"Rio tuh cogan paling kece."
"Diam. Jangan banyak tanya!" Ucap Nawin sambil mengeluarkan senjata terampuhnya untuk mengikat kedua tangan mereka.
"Alamak." Keluh Ray dan Rio bersamaan saling tatap sambil membayangkan tragedi buruk hari ini. Sementara Nawin terkikih sendiri melihat sikap mereka berdua yang lucu.
"Ngapain ketawain? Lucu?" Cerocos Rio.
"Kalian tuh aneh. Berantem kok kayak diskusi. Dikit akrab dikit main serang."
Ray dan Rio sejenak merenungkan perkataan Nawin. Ray dan Rio saling lirik dan kembali bersatu menyatukan ide untuk meloloskan diri dari jeratan benda yang di pakai Nawin. Sesaat terlihat akur dan tertawa bersama, bermain bersama lagi.

Sehari kejadian itu..
Saat ini, Ray dan Rio mengantapkan keyakinannya untuk meminta maaf. Rio pergi ke rumah Ray sambil membawa benda perikraran persahabatan itu dan Ray juga melakukan hal yang sama.

Di sudut kota aku (nama kamu) menangis menahan sepi. Setiap rintikkan hujan itu selalu membawaku dalam sebuah penggalan cerita baru. Aku kembali menyusuri taman sekolahku yang dulu. Di persimpangan lalu lintas goreskan cerita tentang senja.

AWWWWWW!!!!
Ray segera menolongku dari bahaya sebuah truk yang akan menghantamku.
"Ray!!!" Teriak aku dan Rio bersamaan berlari mencoba menyelamatkan Ray. Namun, bahaya justru mendatangi kami bertiga.
BRAAKK !! DAMMM !!!
Tragis sudah peristiwa hari ini. Aku (nama kamu), Ray dan Rio mengalami kecelakaan yang mengerikan. Anehnya kami terkapar di tempat yang sama dan tak berjauhan.
"Rio, maafkan aku. Maaf, aku tak sempat untuk berkata jujur kepadamu. Mengapa aku membiarkan kalian selalu berselisih paham. Karena aku tak mau kamu mengetahui atas penyakit yang ku derita bertahun-tahun.Maaf jika ini terlambat. - Nama Kamu."
"Rio, maafkan aku tak seharusnya aku memusuhimu dan maafkan aku begitu banyak hal yang kusembunyikan diantara kita termasuk tentang persahabatan kita. Aku, kamu dan Nama Kamu (KITA) tetap sahabat. -Ray"
"Ray, maafkan iio atas selama ini. iio baru sadar dan io tak sengaja membaca buku diary Nama Kamu yang tertinggal dirumah sakit itu. iio sadar sekarang iio paham dengan semua keadaan ini. Nama Kamu, maafin io juga ya? iio kurang peka dengan semuanya. :'( io tahu kamu cewek yang paling kuat dan berbeda. -Rio."

Surat itu bertabur di tempat yang tertuju dan telah menjadi saksi peristiwa kepergian kami bertiga. Meskipun ada sedikit twice. Kita selamanya sahabat.

19 January 2015

Sebatas Teman Tanpa Kepastian

Di tiap tirai aku sisakan jejakku untuk selalu menemani bayangan wajahmu. Sosokmu yang sungguh tak berkedip di bola mataku. Semua terlihat manis dan dunia khayalanku semakin berterbangan ketingkat tinggi tanpa hitungan detik. Air mata yang telah mengering sejak semalam suntuk aku sibuk menggoreskan penaku di berbagai tempat pemberontakkanku. Ini memang sulit bagiku untuk tak terbiasa berpesta dimalam terencana. Diiringi rerintikan hujan yang membasahi sekujur tubuhku, adakah getaran jiwa masih bersamaku? Aku pikir ini tindakan terbodohku. Awalnya aku hanya menganggap cinta itu hanya sebuah mitos. Semakin aku mengelaknya semakin terasa sesak hantaman didadaku ketika kau goreskan luka di mataku. Hati kecil ini benar-benar rapuh ketika kau sentuh dunia miliknya; kepercayaan cinta itulah yang kau bunuh tanpa kau dan aku sadari. Di balok ukiranmu yang terkadang menimbulkan pertanyaan singkat berhasil menyeret jiwaku yang kosong. Kita bergurau terkadang terlihat sebagai orang asing. Aku tahu kita ini adalah sebatas teman tanpa kepastian.

09 October 2014

Sekeping Liontinku

Semalaman suntuk, aku tengah mengerjakan deadline. Aku terdiam sekitar lima belas menit. Lima belas menit mencoba kembali kutelusuri suatu perkara yang mengganjal dipikiranku beberapa minggu ini. Rasanya, aku bermain di dunia luas yang kupercayai bahwa itulah surga. Tentu, saat itu perasaanku sedang dilema antara kesepian dan ketidakjelasan amarah yang akhir - akhir ini aku luapkan tanpa berdrama.
Minggu, 5 Oktober 2014 lalu. Tak kusangka hari ini yang kukira akan menjadi sebuah kenangan manis walaupun tak pasti. Kini berbalik meniadi sebuah tragedi mengenaskan untuk kupandang. Peristiwa tenggelamnya sekeping liontin berwarna merah jambu hancur tanpa tersisa dilautan luka dalam tanpa berdarah. Sosoknya yang telah menghanyutkan simpatiku begitu sangat mempesona. Meskipun mahal senyumnya dan kesederhanaanya telah merebut segala rasa yang berkelana mencoba mencari bayang semu.
Dan kau tak akan pernah tahu tentang siapa malaikat yang selalu kudiskusikan denganmu. Yang kau tahu hanyalah sebuah gembok telah menyulapnya menjadi tangisan mahal ketika dalam dua hal yang berbeda. Malaikatku kini telah terluka biasan sinar asmaramu yang begitu kuat menerkam dan mengunci semua keadaan.

28 July 2014

Kita, Teka-Teki Silang Biasa

Kala pagi terasa nyaman, ketika aku menatap keindahan itu. Entah, mengapa dari sedikit pembicaraan KITA yang singkat itu, aku sedikit sekali menangkap sebuah isyarat sederhana. Seperti dalam penjara yang berbulan - bulan, rasa penasaran ini serasa menjadi sebuah misteri. Ataukah kamu berhasil membuatku jatuh, tetapi kau mengangkatku hingga terbang ke nirwana surga yang kau hiasi dengan sejuta rasa. Kuperhatikan sosokmu bahkan kusempatkan melihat senyumanmu setiap malam sehabis makan malam. Mungkin, hanya reaksi molekul kecil dalam mimpiku berekspresi. Aku tak tahu mengapa aku menjadikanmu sosok penasaran dalam ingatan otakku? Terlalu singkat dilatasi waktu pertemuan KITA yang masih terjaga dalam desakkan angan gelombang yang akan menghanyutkan setumpukkan pasir yang terbangun di bibir pantai. Aku jenuh dengan segala pemberontakkanku. Aku terlalu lemah menjadikan daging yang tak bersua. Sekecil yang tak pernah kubayangkan dalam hitungan detik. Datar sekali perbincangan KITA yang masih terlelap dalam belaian seorang semu diantara KITA menjawab masa laiu. Tercabik - cabik gelisahku yang kian merana menjelma keegoisan. Adakah ruang yang selalu menjaga persinggahanku kala aku lengah? Adakah lentera yang tak bersulutkan api yang menyala - nyala? Aku hanya ingin memadamkan segala kejenuhanku. Dimanakah salju yang kupikir mengubur kekakuanku dalam diam rindu? Seperti tujuanku selalu menjadi hambar karena kemunafikkanku, menghasilkan reaksi yang tak sesuai. Aku terlalu rusuh dalam memainkan sebuah formula. Aku paham atas segala pola pikirmu yang seakan - akan itu isyarat terbesar yang ku yakini hingga sekarang. Di batas bibir merahmu, aku meneduhkan segala yang ku rengkuh. Namun, kau menghindar sentuhan kecil itu. Dan sosokmu pergi begitu saja tanpa sebuah suara. Termangu menjadi ciri khasku setelah sosok yang berbeda denganku. Harusnya kau jadikan perbedaan itu istimewa bukan perbedaan yang selalu menimbulkan perdiskusian antara perhakiman dan algojo yang mengatur. Inilah kita, teka-teki silang biasa.

DOA dan SENANDUNG

Senandung takbir yang masih berkumandang merdu. Melantunkan sayup - sayup sederhana yang mampu menghiasi lentera di kala pagi butaku. Terpaan angin yang semakin menumbuhkan rasa kesejukan mengundang segala seisi dunia seluas samudra. Embun pagi yang sering membukakan mata. Terkadang menetes tepat di jari jemari mungil ini. Sejuknya kalbu yang tak sebening embun. Mengisyaratkan sosokku yang tak pernah menjadi penangkal. Perucapan tanpa pelafalan tak akan menyentuh ke gendang telinga yang akan meneruskan ke rongga kecil yang masih tersembunyi di dalam lubang. Banyak peristiwa yang menjadi sebuah dasar pencerminan. Tutur tak semena dengan lidah yang tak sejajar dengan bibir. Kadang terlena ataupun lengah mewujudkan mantra yang tak sesuai. Dilatasi waktu yang tak sadar menyentuh organ tubuh. Hingga menghasilkan reaksi yang beracun di dalam hati. Namun, salahkah bila aku menjadikanmu tujuan dalam keterbatasanku? Aku insan yang bercela. Masih tersungkur di kakiMu, mohon beribu - ribu pengampunan atas perbuatan nista yang selama ini kukubur rapat - rapat dan ku biarkan hingga menjadi sepucuk gunung yang menjulang tinggi di bukit Kalvari. Sosokku tak dapat menyentuhmu yang terikat jarak ratusan meter. Bahkan detak yang tak berdenyut, nadi yang tak berurat, dan rasa yang berinteraksi dengan bibir. Terbanglah sebuah aksara memanah raga. Hari kemenangan yang terikrar sejak peluncuran kembang api yang ku lewati tadi malam. Aku ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Menjadi pribadi yang tak mudah berucap nista, sikap yang selalu menyeret ke dalam pengadilan kini telah engkau bersihkan dari siksa. Kau mengajarkanku untuk berbenah diri hari ini. SELEMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1435 H. MOHON MAAF LAHIR dan BATIN. :)

25 July 2014

Skenario Surat Kecilku, Tuhan

Tuhan, selamat pagi atau malam. Aku tak tahu disana sedang suasana apa? Jika engkau mengizinkan pelangi dalam hujan. Mari kita tengok bersama - sama. Aku seorang gadis kecil yang kau turunkan ke bumi yang menikmati segalanya yang sudah kau berikan. Aku ingin melihat sesuatu yang tak pernah ku  lihat dalam bayangan. Apakah engkau masih mendengarku? Tuhan, tak tahu lagi kemana jengkal harus melangkah melewati butiran - butiran abu. Yang ku rasakan adalah peristiwa yang begitu banyak aplikasi matematika. Aku merindukan kehangatan suci yang sekian lama ku cari. Yang ku dapati hanyalah mimpi. Sekian lama yang ku bangun selama lima tahun ini misi terfavoriteku. Terkadang ingin ku teteskan percikkan air mata. Rindu yang begitu mendesak tak dapat ku simpan lagi. Dalam jarak di altarMu aku bersimpuh duka nestapa. Satu yang tak terjelaskan dalam perucapan. Terbesit dalam pikiran tanpa halangan. Tuhan, aku tak minta banyak hal. Sampaikan rinduku untuk seorang dewi laksana yang dahulu sering menimangku kala masih bayi. Entah, dimana lagi aku harus betapa, bermain dalam skenarioMu yang teradaptasi menjadi kehidupan. Aku insan yang tak banyak petuah, dihadapanMu hanya sekedar jerami yang tak lagi kau butuhkan. Tapi aku begitu sangat nista jika ingin bertemu denganMu. Aku tak pantas kau renggut dari kekejaman dunia yang ku lihat. Mata yang telah kau beri. Tuhan, aku merintih bila aku hanya memberontak dalam diam. Lindungiĺah dewi laksana ku, setiap dalam keadaan terburuk. Jauh dari sudut pandangku itu yang mengharuskan aku untuk berpikir menjadi pribadi yang lebih baik. Izinkanlah diri ini menuliskan surat kecil untukmu. Aku memang sebatang kara yang masih memintaMu penopang. Aku dan skenario Mu yang akan ku nikmati sendirian menempuh perjalanan panjang. Aku tahu engkau memberiku kerikil kecil yang teramat sangat istimewa. Tuhan, aku tak begitu layaknya mengharapkan penyertaan. Boneka yang kau beri, aku sangat bersyukur menjadi teman terdiamku. Yang ku mau tunjukkan mukjizatMu. Mungkin, penantian tanpa alasan tak jelas akan terjawab kala aku menari di surga. Tolong jaga dia Tuhan, aku terlalu rindu dalam ratusan jarak dan bayangan semu yang terbiaskan oleh kenangan manis. Bahkan aku tak dapat menjangkaunya, kabar pun tak ku temui selama lima tahun ini. Adakah rasa rindu di hatinya Tuhan? Aku tak begitu minta yang terlalu suguhan istimewa. Cukup ku teteskan air mata yang kau isyaratkan dalam mesbahMu. Tuhan, aku ingin berjumpaMu melewati aliran sungai yang penuh ketenangan. MemelukMu kala dalam permohonan abadi. Sederhana sekali pilihan tujuan tarian ini. Tuhan, aku selalu menunggunya setiap hembusan nafasku. Namun, berakhir dengan pengabaian tanpa seribu alasan. Rindu yang menggebu - gebu itu singkat sekali menipis kala aku merenung termangu dalam pesakitan rasa. Aku bodoh!! Aku hanya bisa bertahan di kubang kecil yang ku anggap rumah terindah. Ternyata, bualan - bualan yang tak berbekas sangat menggores lembut. Ketertarikan ataukah hanya sekedar racun yang menyerang kalbu ini hingga meluruskan menjadi penyakit kebencian? Tidak! Bagaimanapun waktu yang bercerita diatas derita masih ada setumpuk derita lagi, tetaplah menjadi konsekuensi atas persoalan rasa. Kau cukup sabar mendengarkan ocehanku yang selalu saja tak bermakna apapun. Tahukah engkau Tuhan? Aku merindukannya dalam suat kecilku, Tuhan. Ini skenario surat kecilku yang ku kirimkan menembus biasan sinar istimewa.